Makam Pangeran Diponegoro Makassar
Makam Pangeran Diponegoro Makassar yang
berada di Jl. Diponegoro, saya kunjungi dalam sebuah kesempatan saat sedang
berada di kota Angin Mamiri itu. Makam ini menjadi salah satu jejak dari sekian
usaha yang gagal untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air. Berbeda dengan
umumnya makam keluarga keraton, makam ini berada di pinggir jalan yang sangat
ramai, jauh dari ketenangan sebuah kubur orang terkenal.
Pangeran Diponegoro memimpin Perang Jawa
melawan Belanda yang berlangsung tahun 1825-1830. Ini merupakan salah satu
perang terbesar dan terlama di Nusantara serta menimbulkan kerugian sangat besar
bagi pemerintah colonial Belanda. Dalam perang ini Belanda dikabarkan mengalami
kerugian finansial sekitar 20 juta gulden dan 15.000 tentaranya tewas.
Di awal perang, Pangeran Diponegoro membuat
markas di Goa Selarong dan menyatakan perang sabil yang membawah pengaruh luas
hingga Pacitan dan Kedu. Kyai Mojo pun ikut bergabung di Goa Selarong, dan
dukungan juga datang dari Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdya
Bupati Gagatan.
Tulisan Pada gapura paduraksa di Makam
Diponegoro Makassar, menunjukkan statusnya sebagai Pahlawan Nasional yang
ditetapkan pada 6 November 1973 melalui Kepper No 87/TK/1973. Kompleks makam
ini relatif kecil, dan berada di lingkungan pertokoan serta pemukiman padat penduduk dan berhawa
panas. Sengit matahari Makassar yang mengigit sudah saya rasakan semenjak
pertama kali menjejakkan kaki disana.
Cungkup Makam Pangeran Diponegoro berada di pojok kompleks makam dengan
bangunan khas Jawa disangga empat pilar. Di dalamnya terdapat dua makam
bersisian, yaitu Makam Pangeran Diponegoro dan Makam R.A. Ratu Ratna Ningsih,
salah satu dari setidaknya 9 isterinya. Ratna Ningsih mendampingi selama
pengasingan di Makassar hingga akhir hayatnya.
Kabarnya ada beberapa kali usaha untuk memindahkan Makam Pangeran
Diponegoro ke Jawa, atau ke tempat lain yang lebih baik, namun sepertinya
ditentang oleh pemerintah setempat. Alasannya adalah karena sosok Diponegoro
telah menjadi simbol nasional, bukan lagi pahlawan Jawa saja, dan untuk
melestarikan riwayatnya yang menghabiskan 21 tahun masa hidupnya di Kota
Makassar.
Pangeran Diponegoro dijebak secara licik dalam perundingan dengan
Belanda pada 28 Maret 1828 di Magelang, dan dibawa ke Ungaran. Selanjutnya ia
dipindahkan Semarang, lalu dibawa ke Batavia dengan kapal Pollux pada 5 April
dan ditempatkan di penjara bawah tanah di Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah Jakarta). Pada 3 Mei 1830 ia dibawa ke
Manado dengan kapal Pollux, bersama Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana
dan istri, Mertaleksana, Banteng Wereng, Nyai Sotaruna, dan sejumlah pengikut
setianya.
Makam Pangeran Diponegoro letaknya bersebelahan dengan Makam R.A. Ratu
Ratnaningsih yang wafat di tahun yang sama, 1855. Meskipun kecil, namun Makam
Pangeran Diponegoro terlihat cukup bersih dan terawat, dinaungi beberapa pohon
hijau berukuran tanggung. Nisan pada makamnya dibuat dengan gaya Jawa dengan
ukiran simbol kerajaan.
Pangeran Diponegoro dibawa ke Makassar dan dipenjara di Benteng
Rotterdam sejak 1834 sampai ia wafat pada 8 Januari 1855. Diponegoro adalah
anak tertua Sultan Hamengku Buwana III. Ia lahir pada 11 November 1785 di
Yogyakarta dari isteri selir R.A. Mangkarawati asal Pacitan. Nama aslinya
adalah Raden Mas Mustahar, yang diubah pada 1805 oleh Hamengkubuwono II menjadi
Bendoro Raden Mas Ontowiryo, dan akhirnya Pangeran Diponegoro setelah menjadi
pangeran.
Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda dibantu sejumlah
puteranya, termasuk diantaranya adalah KPH Diponegoro II (Diponegoro Anom, RM
Muhammad Ngarip) yang berjuang melawan Belanda di daerah Bagelen ke barat
hingga wilayah Banyumas. Salah satu putera Diponegoro II adalah RM Ali Dipawangsa yang dimakamkan di Kedung Paruk,
Banyumas.
Categories:
All Post